Posted by Syarif Hidayatullah | 1 comments

Lunturnya Bahasa Krama


            Ini nih topik yang sering dilupakan oleh kita, para generasi muda. Bahasa  Jawa, ya, bahasa nenek moyang kita. sebelum melangkah lebih jauh lagi, kita harus mengerti dulu apa itu Bahasa Jawa.

            Yang pertama Bahasa, bahasa merupakan alat komunikasi lisan yang kita ucapkan. Tanpa adanya bahasa maka praktik bertukar informasi atau berkomunikasi tidak akan berjalan dengan lancar. Jadi bahasa merupakan hal yang paling penting. Tidak hanya itu, bahasa juga mampu mengisahkan keadaan suatu bangsa melalui sejarah atau perjalanan zaman, berarti bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi belaka.

            Itu tadi sedikit ulasan mengenai apa itu bahasa. Kembali lagi ke topik yang akan kita bahas, yaitu Bahasa Jawa. Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang dimiliki oleh Ibu Pertiwi. Menurut KOMPAS, 18 September 2006, mereka menemukan fakta bahwa masyarakat di Jawa Tengah merasa bangga sehingga masih aktif bertutur bhasa Jawa sebagai wahana komunikasi sehari-hari. Terlepas dari itu, bagaimana dengan kita? bagaimana dengan generasi muda sekarang ini? Apakah mereka masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan bahasa jawa? Saya rasa tidak banyak yang melakukan hal tersebut.

            Bisa dilihat di lingkungan sekitar kita sendiri. Banyak teman-teman kita atau bahkan kita sendiri yang melupakan bahasa jawa. Mereka lebih sering menggunakan Bahasa Indonesia, sekalipun menggunakan bahasa jawa itu juga asal-asalan (tidak menganut pakem). Mereka kurang mengerti atau bahkan tidak mengerti sama sekali apa itu bahasa jawa ngoko alus, krama inggil, krama alus dan lain-lainnya.

            Apa yang menyebabkan generasi muda sekarang ini kurang memerhatikan pakem-pakem dalam bahasa jawa? Kebanyakan dari mereka berfikiran bahwa bahasa jawa merupakan bahasa yang sulit untuk dipelajari. Kesulitan tersebut yang menjadikan minat dan semangat mereka berkurang. Jika hal ini kita biarkan berlarut-larut, maka apa yang akan terjadi dikemudian hari? Mungkinkah bahasa jawa akan menghilang? Menurut saya mungkin saja bahasa jawa akan menghilang JIKA tidak dilestarikan dengan sebaik-baiknya. 

           Bagaimana cara melestarikannya? Sebagai orang tua harusnya mereka mengajarkan pakem-pakem bahasa jaw kepada anaknya sejak dini dan membiasakan mereka berkomunikasi dengan bahasa jawa dengan baik dan benar. Selain itu, pendidikan formal juga harus mengajarkan murid-muridnya bahasa jawa. Apakah cukup sampai disitu? Tidak! Generasi muda sendiri juga harus mempunyai kesadaran bahwa betapa pentingnya Bahasa Jawa dan dampak-dampak yang akan ditimbulkan jika tidak dilestarikan.

            Maka dari itu, dimulai dari kita dan dimulai dari sekarang mari kita lestarikan Bahasa Jawa! Jangan sampai anak cucu kita tidak merasakan betapa indahnya Bahasa Jawa.

1 comments:

Posted by Syarif Hidayatullah | 0 comments

Bisa Karena Kesempatan



      Kejadian ini bermula pada 2 tahun yang lalu, tepatnya dipertengahan tahun. Ceritanya aku mengantarkan temanku ke sebuah seleksi yang cukup membosankan menurutku. Ya, ini adalah seleksi menari untuk acara Festival Reog Nasional. Huah.... tapi tak apalah, namanya juga demi teman, hehehe... Seleksi dimulai, dan aku hanya duduk termenung di sudut ruangan sambil mengamati mereka-mereka yang mengikuti seleksi.

     
       Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu dan berakhirlah seleksi itu.
Keesokan harinya, seperti hari-hari biasa dan tidak ada sedikitpun rasa yang janggal dihari itu, tapi ada yang aneh, seorang guru tari memanggilku dan kalian tahu apa yang terjadi ? ternyata aku disuruh ikut Festival Reog Nasional tanpa mengikuti seleksi apapun. Aku terdiam sejenak, jantung rasanya berneti berdetak dan darah serasa berhenti mengalir. Aku terkejut dan seakan tak mempercayai tawaran ini. Teringat difikiranku sebuah kata dari Donald Trump (Orang terkaya di Amerika sekaligus motivator dunia) dalam bukunya Think Big and Kick Ass ”Bersikaplah terbuka pada gagasan baru dan bersedialah mencoba sesuatu yang baru”.

     Tanpa pikir panjang dan berpedoman sama kata-kata Pak Donald Trump, aku langsung mengiyakan kesempatan ini. Setelah mengiyakannya, aku langsung buru-buru masuk ke kelas (karena ada mata pelajaran lain), aku tidak tahu apa yang aku rasakan saat itu, ada perasaan senang, bangga, tidak percaya diri dan lain-lain yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

      Hari demi hari berganti, latihan demi latihan pun aku lewati. Dan tidak terasa dengan waktu yang menurutku sangat singkat, hari tampilpun sudah didepan mata. Musik dihidupkan, terdengar suara-suara khas ponorogo yang masuk ke telinga dan ke relung jiwaku. Perasaan nervous menghampiri diriku, tetapi aku mencoba tetap fokus sampai akhir penampilan. Kami cukup puas dengan penampilan kami hari itu. Ya, meskipun terjadi beberapa kesalahan, tapi itu semua tidak membuat optimisme kami menjadi juara turun.

     Beberapa minggu kemudian, tibalah pengumuman juara. Dan terjawablah sudah semuanya. SMA kami tidak memperoleh juara apapun. Kami semua merasa kecewa, sedih dan menyesal. Tapi rasa itu tidak berlangsung lama. Kami sadar, bahwa kami sudah melakukan yang terbaik dan mungkin tahun-tahun berikutnya kami dapat menyabet juara.

     Terlepas dari semua itu, aku menyadari bahwa menari itu bukan hal yang membosankan dan aku malah bangga, karena aku bisa meletarikan budaya. Coba saja kalau aku tidak mengambil kesempatan itu, mungkin sekarang aku masih belum menyadari bahwa begitu pentingnya melestarikan budaya apalagi bagi generasi muda seperti kita-kita ini. J

0 comments:

Posted by Syarif Hidayatullah | 0 comments

Klaim ? Hal biasa atau luar biasa ?





      Topik itu lah yang menghebohkan warga negara kita beberapa waktu yang lalu. Tidak rela rasanya saat kebudayaan kita bangsa Indonesia seperti misalnya Reog Ponorogo, diklaim oleh negara tetangga. Pernyataan-pernyataan klaim itulah yang membuat warga negara kita merasa geram dan menghujat negara tetangga itu.

       Bersalah mereka mengklaim kebudayaan kita? Saya rasa mereka tetap bersalah!  Tapi apakah semua kesalahan dijatuhkan sepenuhnya kepada mereka? Bukankah ‘mereka hanya mengambil barang yang diabaikan oleh pemiliknya’? Yap, mereka hanya mengambil “barang” yang diabaikan oleh pemilihnya. Dan barang itu adalah kebudayaan bangsa yang diabaikan oleh warga negaranya sendiri.


     Kemana saja mereka saat belum terjadi klaim budaya? Kenapa saat pernyataan klaim itu mencuat mereka baru menyadari bahwa mereka memiliki kebudayaan? Seharusnya warga negara kita instropeksi dan memperbaiki diri agar citra kebudayaan yang kita miliki tetap terjaga.

       Apalagi jika melihat apresiasi terhadap seni dari generasi muda bangsa kita, mereka lebih suka menyaksikan tari-tarian modern dari barat dari pada harus melihat tari-tarian tradisional bangsa Indonesia. Mereka melakukan hal itu Cuma gara-gara mereka takut disebut “ngga gaul”.

      Kalau sudah begitu, bagaimana cara mengatasinya? Jalan satu-satunya yang bisa dimpuh ya harus menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap kebudayaan bangsa Indonesia.Rasa cinta inilah yang nantinya akan mendorong para generasi muda memiliki rasa keingintahuan mengenai kebudayaan mereka sehingga mereka dapat menghargai kebudayaan tersebut. Dan disisi lain, sebaiknya acara-acara yang mengangkat nilai-nilai kebudayaan semakin diperbanyak dan dikemas semenarik mungkin.

       Jika kita sudah memiliki rasa itu semua maka kita telah menganggap kebudayaan itu penting, dan negara lain tidak mungkin akan mengambil “barang” yang kita sendiri menganggapnya penting. Pemuda dalam hal ini jelas memiliki peran besar sebagai apresian seni kebudayaan.

      Melalui tangan pemudalah kebudayaan kita bisa berkembang jika diapresiasi dengan baik. Tidak hanya itu, para pemuda jugalah yang nantinya akan bertindak sebagai penerus dan pemelihara kebudayaan bangsa. Kalau bukan kita para pemuda lalu siapa lagi?



0 comments: